BBC Indonesia
"Mahasiswa lulusan IPB banyak yang kerja di bank. Terus yang ingin jadi petani siapa?" sindir Presiden Joko Widodo dalam Dies Natalis Institut Pertanian Bogor (IPB) ke-54 di Bogor, Rabu (06/09).
Jokowi mengaku punya data bahwa 'banyak direksi perbankan BUMN yang (berasal) dari IPB'. Padahal, menurutnya, sarjana lulusan pertanian diperlukan untuk tetap fokus di sektor tersebut, untuk mengembangkan pertanian di Indonesia.
Lalu mengapa banyak lulusan pertanian yang 'pindah haluan'?
Menurut pakar pertanian yang juga merupakan dosen IPB, Dwi Andreas, 'fenomena' ini terjadi karena "(sektor pertanian) tidak mendatangkan pendapatan yang memadai."
Berdasarkan datanya, 'hanya delapan persen' generasi muda di bawah 35 tahun yang berkecimpung di dunia pertanian.
Dia mengindikasikan banyaknya lulusan pertanian yang bekerja di sektor lain, juga dipicu oleh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sendiri.
"Lulusan tidak tertarik ke dunia pertanian karena alasan pendapatan. Pendapatan tidak memadai karena pemerintah menginginkan harga produk pertanian yang rendah, sehingga pendapatan petani terus menurun. Alhasil tidak menarik lagi baik kaum muda," tegasnya.
'Tidak hanya bertani'
Alasan kurang 'basahnya' profesi di bidang pertanian, peternakan dan perikanan, juga diutarakan salah satu lulusan IPB, Alvon.
Lulus dari fakultas perikanan dan kelautan, dan sempat bekerja di sebuah tambak udang di Lampung, Alvon kemudian memutuskan banting setir, pindah ke sektor IT dan telekomunikasi.
"Saat itu masih idealis. Dulu saya lihat potensi kelautan itu tinggi, tapi ternyata potensi ini lama-lama berkurang... Mau nggak mau tuntutan untuk harus punya duit lah, penghasilan lah, memicu untuk coba cari pekerjaan lain," katanya kepada BBC Indonesia, Rabu (06/09).
Dosen IPB Dwi Andreas menyebut, salah satu cara untuk membuat para lulusan untuk tetap setia dengan apa yang mereka pelajari di kampus, adalah dengan mengubah citra bahwa sektor pertanian, peternakan dan perikanan, 'juga bernilai ekonomi tinggi'.
"Pertanian itu tidak hanya terjun langsung bercocok tanam, tapi juga ada sektor di luar sawah-ladang, yang lebih menjanjikan (secara finansial); misalnya di penggilingan, peningkatan kualitas produk dan pemasaran."
Lebih jauh lagi dia menekankan bahwa sarjana pertanian sebenarnya dituntut untuk lebih menjadi pemikir, perencana pertanian yang mampu mengorganisasi dan berinovasi, bukan dalam taraf mempraktikkan.
"Yang bercocok tanam langsung itu mereka yang diploma," tuturnya.
'Mengapa bersempit-sempit di kantor?'
Heru Mufti adalah salah satu lulusan pertanian yang memilih tetap berkecimpung di sektor yang dipelajarinya saat masih berkuliah itu. Sejalan dengan pernyataan Dwi Andreas, dia memilih sektor di luar kerja sawah-ladang.
Lulus dari jurusan agribisnis Universitas Padjajaran, enam tahun lalu, Heru langsung membuka usaha penjualan pupuk, bibit dan pestisida di kampung halamannya, Payakumbuh, Sumatera Barat.
"Sebanyak 70% lulusan jurusan saya itu, tidak ada yang kerja di pertanian. Kebanyakan di bank... Saya merasa banyak teman saya yang gengsi kerja di pertanian. Lalu saya putuskan mengapa harus ikut orang lain? Saya milihnya out of the box...," katanya kepada BBC Indonesia, Rabu (06/09)
Heru mengungkapkan meskipun target pasar dagangannya hanya petani, "tetapi mereka selalu butuh (pupuk, bibit, pestisida). Dari segi ekonomi (penghasilan saya sekarang) lebih bagus daripada bekerja di bank."
Melalui empat buah toko produk pendukung taninya di seputaran Payakumbuh, Heru bisa memperoleh omzet fantastis Rp1,5 miliar per bulan. "Nanti segera nambah satu toko baru lagi," tambahnya.
Dia meminta agar lulusan pertanian untuk "lebih membuka pikiran dan wawasan, bahwa dunia pertanian itu sangat luas dan bisa menghasilkan uang yang banyak."
"Indonesia punya tanah yang subur dan tanah yang luas, mengapa kita harus bersempit-sempit di perkantoran?" pungkas Heru.
Sumber : BBC Indonesia
Baca Juga : Jokowi sindir Sarjana pertanian Kerja di Bank