oleh : Achmad Gozali Nataamijaya
Ayam Lokal lndonesia Di Indonesia terdapat berbagai jenis ayam lokal, baik yang asli maupun hasil adaptasi yang dilakukan puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Ayam lokal yang tidak memiliki karakteristik khusus disebut sebagai ayam kampung. Masyarakat perdesaan umumnya memelihara ayam kampung untuk mendapatkan daging, telur maupun sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan.
Ayam lokal dapat digolongkan sebagai tipe pedaging (pelung, nagrak, gaok, dan sedayu), petelur (kedu hitam, kedu putih, nusa penida, nunukan, merawang, wareng, dan ayam sumatera), dan dwiguna (ayam sentul, bangkalan, olagan, kampung, ayunai, melayu, dan ayam siem). Selain itu dikenal pula ayam tipe petarung (ayam banten, ciparage, tolaki, dan bangkok) dan ternak kegemaran/hias, seperti ayam pelung, gaok, tukung, burgo, bekisar, dan walik.
Ayam lokal merupakan aset yang sangat berharga dalam pembentukan bibit unggul ayam lokal yang terbukti mampu beradaptasi pada lingkungan setempat (Nataamijaya 2000). Peningkatan produktivitas ayam melalui manipulasi genetik.
SUMBER DAYA GENETIK AYAM LOKAL
Ayam lokal berperan penting sebagai bahan pangan sumber protein, selain sebagai tabungan waktu paceklik, dan ternak kesayangan. Ayam lokal juga bermanfaat sebagai sumber daya genetik yang sangat berharga sehingga perlu dilestarikan dan dikembangkan. Di banyak tempat, ayam lokal merupakan salah satu pelengkap dalam upacara tradisional dan keagamaan.
fisiologis, dan lingkungan dapat menurunkan keragaman sumber daya genetik ternak. Oleh karena itu, konservasi sumber daya genetik untuk mempertahankan keragaman genetik perlu dilakukan secara berkelanjutan (National Research Council 1993). Ayam lokal, terutama ayam lokal spesifik, perlu dilindungi dari pengurasan populasi yang dapat berujung pada kepunahan (Nataamijaya 2006). Sebagai contoh, populasi ayam sentul saat ini diperkirakan kurang dari 1.000 ekor, ayam kedu putih kurang dari 100 ekor, dan ayam ciparage sudah punah. Konservasi juga harus dilakukan karena adanya dua tantangan yang perlu diatasi, yaitu permintaan akan produk ternak yang terus meningkat serta berkurangnya sumber daya genetik di hampir seluruh dunia (Subandriyo 2003).
Ayam lokal memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Bahkan di banyak daerah, ayam lokal merupakan satu-satunya sumber pendapatan tunai pada musim kemarau panjang. Hasil penelitian di Batumarta, Sumatera Selatan, menunjukkan bahwa komposisi populasi ayam lokal yang dipelihara peternak pada umumnya adalah pejantan 4,50%, induk betina 15%, ayam muda 57%, dan anak ayam 25% (Nataamijaya et al. 1986). Dari total populasi ayam lokal 290 juta ekor di Indonesia, sekitar 43 juta ekor di antaranya adalah induk betina. Apabila kita mampu memperbaiki cara budi daya dengan menerapkan biosecurity, vaksinasi, dan pemakaian creep feeder untuk anak ayam pada 20 juta ekor induk saja maka dalam satu tahun penyelamatan aset dan nilai tambah yang diperoleh tidak kurang dari Rp5 triliun. Penggunaan creep feeder dimaksudkan agar hanya anak ayam yang dapat mengonsumsi pakan yang khusus diperuntukkan bagi anak ayam. Hal ini karena kematian anak ayam pada pemeliharaan secara tradisional antara lain karena kalah bersaing dengan ayam dewasa dalam memperoleh pakan (Nataamijaya et al. 1986).
PRODUKTIVITAS DAN PENYAKIT AYAM LOKAL
Produktivitas ayam lokal pada pemeliharaan secara tradisional bervariasi, tetapi sampai batas tertentu sesuai dengan input yang diberikan. Sistem tersebut memerlukan lahan pekarangan yang luas agar tidak mengganggu lingkungan perumahan. Agar ayam lokal dapat diternakkan secara efisien dan menguntungkan, perlu upaya meningkatkan produktivitasnya.
Produktivitas
Ayam lokal Indonesia dikenal memiliki keunggulan sehingga pada zaman penjajahan diekspor dan dikembangkan di banyak negara, seperti ayam kedu hitam yang dikembangkan di Amerika Serikat menjadi black java atau black giant. Sebagian masyarakat juga memercayai ayam kedu cemani sebagai bahan obat tradisional sehingga bernilai jual tinggi. Ayam sumatera juga dikembangkan di Belanda menjadi ayam hias unggul (Sastroamidjojo 1971), namun di Indonesia belum mendapat perhatian. Dengan sistem umbaran, tanpa biaya produksi disertai ancaman predator dan penyakit, ayam kampung masih mampu menghasilkan 30−40 butir telur setiap tahun, dengan bobot badan 1,20−1,50 kg (Kingston 1979, Nataamijaya et al. 1986). Produktivitas ayam lokal pada umumnya masih di bawah potensi genetiknya. Ayam pelung dan ayam sentul, misalnya, bobot badannya pada umur 20 minggu masing-masing dapat mencapai 2,20 kg dan 1,60 kg bila dipelihara secara intensif. Bila dipelihara dengan cara diumbar, bobot badan kedua jenis ayam tersebut pada umur yang sama masingmasing hanya 1,60 kg dan 1,10 kg. Ayam kedu dan ayam sentul masing-masing mampu menghasilkan telur lebih dari 200 dan 150 butir/tahun bila dipelihara secara intensif, namun dengan sistem umbaran hanya menghasilkan telur 60 dan 50 butir setahun (Nataamijaya 1985; Nataamijaya dan Diwyanto 1994; Nataamijaya 1996, 2000; Nataamijaya et al. 2003).
Penyakit
Meskipun produktivitasnya rendah, ayam lokal Indonesia memiliki keunggulan tersendiri. Sulandari et al. (2007) menyatakan bahwa 63% ayam lokal Indonesia tahan terhadap virus highly pathogenic H5N1 avian influenza (HPAI virus) atau flu burung karena memiliki frekuensi gen antivirus Mx+ yang lebih tinggi (Seyama et al. 2006). Sebagai contoh, gen Mx+ ayam kedu cemani sebesar 0,89, pelung 0,75, dan merawang 0,75 sehingga lebih tahan terhadap penyakit AI dibandingkan dengan ayam petelur coklat(0,35), broiler (0,20), ayam lokal Cina (0,22), dan ayam lokal Afrika (0,44).
Seluruh virus influenza pada ternak peliharaan termasuk tipe A, yaitu tipe yang paling sering menimbulkan wabah dan menulari manusia, bahkan telah memakan korban jutaan jiwa (WHO 2009). Penyakit lain yang sering menyerang ayam dan menimbulkan kerugian besar adalah penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti tetelo (newcastle disease/ ND) (Orsi et al. 2010), cacar (avian pox) (Islam et al. 2008), gumboro (infectious bursal disease) (Mazengia et al. 2009), dan infectious bronchitis (Jones 1997), marek (Lobago dan Woldemeskel 2004), serta penyakit yang disebabkan oleh bakteri, yaitu coryza/snot (Mouahid et al. 1991), berak kapur/pulorum (Damayanti et al. 2009), kolera (Zhang et al. 2004), chronic respiratory disease/CRD, dan Colibacillosis (Rahman et al. 2004). Penyakit juga disebabkan oleh protozoa seperti koksidiosis (Marusich et al. 1972) atau parasit seperti cacingan (Damayanti et al. 2009).
UPAYA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM LOKAL
Untuk meningkatkan produktivitas ayam lokal diperlukan upaya perbaikan mutu genetik, pakan, budi daya, dan pengendalian penyakit. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil-hasil penelitian ayam lokal yang telah dilakukan di Indonesia. Perbaikan Mutu Genetik Untuk memperbaiki mutu genetik ayam lokal, kelompok peternak dan Dinas Peternakan Kabupaten Cianjur, misalnya, melakukan kerja sama pembibitan, perkandangan, perbaikan pakan, pengendalian penyakit, biosekuriti, dan pelestarian sumber daya genetik ayam pelung (Nataamijaya 1985). Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah kepunahan ayam dan cacat fisik akibat inbreeding. Selain itu, melalui program grading up menggunakan ayam pelung jantan sampai generasi ketiga, ayam kampung di Sukabumi, Jawa Barat, menghasilkan keturunan yang pertumbuhan badannya meningkat 40− 60% lebih cepat dibanding ayam kampung sehingga meningkatkan pendapatan peternak minimal 50% (Nataamijaya et al. 1993b).
Ayam lokal Indonesia mempunyai karakteristik morfologis dan produksi yang berbeda. Populasi ayam kampung lebih tinggi dibandingkan dengan ayam lokal spesifik lokasi, namun laju pertumbuhan badannya lambat. Untuk itu, dilakukan persilangan ayam pelung jantan dengan ayam kampung betina di daerah transmigrasi Batumarta Sumatera Selatan. Kegiatan ini menghasilkan keturunan yang pada umur 20 minggu pertumbuhan badannya 20% lebih cepat dibanding ayam lokal. Sebagai tetua dan sumber daya genetik, ayam pelung asli tetap dipertahankan serta dikembangbiakkan dan telah menjadi situs pelestarian sumber daya genetik dan pembibitan pertama di Sumatera (Nataamijaya dan Diwyanto 1994).
Salah satu kelebihan ayam pelung adalah suaranya merdu dan khas. Suara ayam pelung dapat dibagi ke dalam beberapa kategori sebagai dasar dalam penilaian kualitas suara, yaitu kukudur, kukulir, dan tetelur (Jarmani dan Nataamijaya 1996). Menurut Gunawan et al. (1998), generasi pertama (F1) persilangan ayam pelung jantan dengan ayam kampung betina menghasilkan pertambahan bobot badan 85,90 g/ekor (9%) pada umur 12 minggu, dengan koefisien variasi yang lebih baik (5,95% vs. 8,61%). Sartika et al. (2002) yang menyeleksi sifat mengeram ayam kampung berhasil meningkatkan produksi telur dari 29,53% menjadi 48,89% pada generasi ketiga selama 6 bulan masa produksi. Nataamijaya (2000) telah mendokumentasikan 32 rumpun ayam lokal Indonesia (Tabel 1). Sulandari et al. (2007) juga telah melakukan karakterisasi molekuler terhadap ayam lokal Indonesia. Seleksi terhadap sifat mengeram menunjukkan bahwa ayam kampung memberikan respons 5,20% selama 6 bulan masa seleksi pada generasi pertama.
Dengan metode marker assisted selection (MAS), respons seleksi mencapai 50% pada generasi ketiga (Sartika et al. 2004), sesuai dengan pendapat Meuwissen (2003) dan Solberg et al. (2008). Karakterisasi terhadap warna bulu memperlihatkan bahwa tingkat keseragaman warna bulu ayam pelung dan ayam sentul cukup tinggi, mencapai 75%. Hal ini merupakan modal awal yang baik dalam upaya pembentukan bangsa ayam lokal unggul (Nataamijaya 2005). Kualitas semen ayam lokal tergolong baik dengan konsentrasi spermatozoa 1,80 miliar/ml, motilitas 3,39 dari skala 4, jumlah spermatozoa hidup 75,40%, dan pH 7,80 (Nataamijaya et al. 2005). Data ini menunjukkan bahwa ayam lokal tidak memiliki hambatan dalam hal kesuburan, walaupun tidak sebaik ayam ras yang spermatozoa hidupnya mencapai 87% (Partyka et al. 2007).
Di masa mendatang, perlu diupayakan program pemuliaan dengan memanfaatkan teknologi MAS untuk menghasilkan ayam lokal yang berproduktivitas tinggi dan tahan terhadap penyakit menular yang mematikan, seperti AI dan ND. Upaya memperbaiki sifat genetik ayam kampung melalui persilangan dengan ayam ras juga telah dilakukan di Sulawesi Selatan, dan menghasilkan keturunan yang disebut Kalosi Pute. Ayam ini mulai bertelur pada umur 5,50 bulan dan mampu menghasilkan telur 180 butir/tahun (Anonim 1996).
KESIMPULAN DAN SARAN
Usaha peternakan ayam lokal perlu dikembangkan dengan menerapkan teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan peternak. Berbagai rumpun ayam lokal telah diidentifikasi dan teknologi budi daya untuk meningkatkan produksinya telah tersedia. Ayam lokal memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap penyakit, terutama AI, dibanding ayam ras pada umumnya karena memiliki frekuensi gen antivirus Mx+ yang lebih banyak. Pemberian obat alami dapat mencegah penyakit akibat infeksi virus, parasit, protozoa, dan bakteri. Program pemuliaan untuk membentuk galur ayam lokal yang tahan terhadap penyakit, terutama AI dan ND, perlu segera direalisasikan. Potensi sumber daya genetik untuk meningkatkan produksi ayam lokal sangat besar dan prospeknya sangat baik. Sebagian besar (63%) ayam lokal tahan terhadap virus AI sehingga tindakan pemusnahan sebaiknya dilakukan hanya terhadap ayam yang positif tertular berdasarkan hasil pengujian. Dibutuhkan strategi, kebijakan, dan program aksi yang sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah, serta penanganan penyakit menular yang terintegrasi. Diseminasi teknologi produksi ayam lokal perlu dilakukan secara cepat dan tepat sasaran. Pemerintah berperan penting dalam penyediaan modal usaha ternak ayam lokal untuk meningkatkan skala usaha. Diperlukan stratifikasi wilayah pengembangan ayam lokal di perdesaan.
Jurnal : http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3294102.pdf
Ayam Lokal lndonesia Di Indonesia terdapat berbagai jenis ayam lokal, baik yang asli maupun hasil adaptasi yang dilakukan puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Ayam lokal yang tidak memiliki karakteristik khusus disebut sebagai ayam kampung. Masyarakat perdesaan umumnya memelihara ayam kampung untuk mendapatkan daging, telur maupun sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan.
Ayam lokal dapat digolongkan sebagai tipe pedaging (pelung, nagrak, gaok, dan sedayu), petelur (kedu hitam, kedu putih, nusa penida, nunukan, merawang, wareng, dan ayam sumatera), dan dwiguna (ayam sentul, bangkalan, olagan, kampung, ayunai, melayu, dan ayam siem). Selain itu dikenal pula ayam tipe petarung (ayam banten, ciparage, tolaki, dan bangkok) dan ternak kegemaran/hias, seperti ayam pelung, gaok, tukung, burgo, bekisar, dan walik.
Ayam lokal merupakan aset yang sangat berharga dalam pembentukan bibit unggul ayam lokal yang terbukti mampu beradaptasi pada lingkungan setempat (Nataamijaya 2000). Peningkatan produktivitas ayam melalui manipulasi genetik.
SUMBER DAYA GENETIK AYAM LOKAL
Ayam lokal berperan penting sebagai bahan pangan sumber protein, selain sebagai tabungan waktu paceklik, dan ternak kesayangan. Ayam lokal juga bermanfaat sebagai sumber daya genetik yang sangat berharga sehingga perlu dilestarikan dan dikembangkan. Di banyak tempat, ayam lokal merupakan salah satu pelengkap dalam upacara tradisional dan keagamaan.
fisiologis, dan lingkungan dapat menurunkan keragaman sumber daya genetik ternak. Oleh karena itu, konservasi sumber daya genetik untuk mempertahankan keragaman genetik perlu dilakukan secara berkelanjutan (National Research Council 1993). Ayam lokal, terutama ayam lokal spesifik, perlu dilindungi dari pengurasan populasi yang dapat berujung pada kepunahan (Nataamijaya 2006). Sebagai contoh, populasi ayam sentul saat ini diperkirakan kurang dari 1.000 ekor, ayam kedu putih kurang dari 100 ekor, dan ayam ciparage sudah punah. Konservasi juga harus dilakukan karena adanya dua tantangan yang perlu diatasi, yaitu permintaan akan produk ternak yang terus meningkat serta berkurangnya sumber daya genetik di hampir seluruh dunia (Subandriyo 2003).
Ayam lokal memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Bahkan di banyak daerah, ayam lokal merupakan satu-satunya sumber pendapatan tunai pada musim kemarau panjang. Hasil penelitian di Batumarta, Sumatera Selatan, menunjukkan bahwa komposisi populasi ayam lokal yang dipelihara peternak pada umumnya adalah pejantan 4,50%, induk betina 15%, ayam muda 57%, dan anak ayam 25% (Nataamijaya et al. 1986). Dari total populasi ayam lokal 290 juta ekor di Indonesia, sekitar 43 juta ekor di antaranya adalah induk betina. Apabila kita mampu memperbaiki cara budi daya dengan menerapkan biosecurity, vaksinasi, dan pemakaian creep feeder untuk anak ayam pada 20 juta ekor induk saja maka dalam satu tahun penyelamatan aset dan nilai tambah yang diperoleh tidak kurang dari Rp5 triliun. Penggunaan creep feeder dimaksudkan agar hanya anak ayam yang dapat mengonsumsi pakan yang khusus diperuntukkan bagi anak ayam. Hal ini karena kematian anak ayam pada pemeliharaan secara tradisional antara lain karena kalah bersaing dengan ayam dewasa dalam memperoleh pakan (Nataamijaya et al. 1986).
PRODUKTIVITAS DAN PENYAKIT AYAM LOKAL
Produktivitas ayam lokal pada pemeliharaan secara tradisional bervariasi, tetapi sampai batas tertentu sesuai dengan input yang diberikan. Sistem tersebut memerlukan lahan pekarangan yang luas agar tidak mengganggu lingkungan perumahan. Agar ayam lokal dapat diternakkan secara efisien dan menguntungkan, perlu upaya meningkatkan produktivitasnya.
Produktivitas
Ayam lokal Indonesia dikenal memiliki keunggulan sehingga pada zaman penjajahan diekspor dan dikembangkan di banyak negara, seperti ayam kedu hitam yang dikembangkan di Amerika Serikat menjadi black java atau black giant. Sebagian masyarakat juga memercayai ayam kedu cemani sebagai bahan obat tradisional sehingga bernilai jual tinggi. Ayam sumatera juga dikembangkan di Belanda menjadi ayam hias unggul (Sastroamidjojo 1971), namun di Indonesia belum mendapat perhatian. Dengan sistem umbaran, tanpa biaya produksi disertai ancaman predator dan penyakit, ayam kampung masih mampu menghasilkan 30−40 butir telur setiap tahun, dengan bobot badan 1,20−1,50 kg (Kingston 1979, Nataamijaya et al. 1986). Produktivitas ayam lokal pada umumnya masih di bawah potensi genetiknya. Ayam pelung dan ayam sentul, misalnya, bobot badannya pada umur 20 minggu masing-masing dapat mencapai 2,20 kg dan 1,60 kg bila dipelihara secara intensif. Bila dipelihara dengan cara diumbar, bobot badan kedua jenis ayam tersebut pada umur yang sama masingmasing hanya 1,60 kg dan 1,10 kg. Ayam kedu dan ayam sentul masing-masing mampu menghasilkan telur lebih dari 200 dan 150 butir/tahun bila dipelihara secara intensif, namun dengan sistem umbaran hanya menghasilkan telur 60 dan 50 butir setahun (Nataamijaya 1985; Nataamijaya dan Diwyanto 1994; Nataamijaya 1996, 2000; Nataamijaya et al. 2003).
Penyakit
Meskipun produktivitasnya rendah, ayam lokal Indonesia memiliki keunggulan tersendiri. Sulandari et al. (2007) menyatakan bahwa 63% ayam lokal Indonesia tahan terhadap virus highly pathogenic H5N1 avian influenza (HPAI virus) atau flu burung karena memiliki frekuensi gen antivirus Mx+ yang lebih tinggi (Seyama et al. 2006). Sebagai contoh, gen Mx+ ayam kedu cemani sebesar 0,89, pelung 0,75, dan merawang 0,75 sehingga lebih tahan terhadap penyakit AI dibandingkan dengan ayam petelur coklat(0,35), broiler (0,20), ayam lokal Cina (0,22), dan ayam lokal Afrika (0,44).
Seluruh virus influenza pada ternak peliharaan termasuk tipe A, yaitu tipe yang paling sering menimbulkan wabah dan menulari manusia, bahkan telah memakan korban jutaan jiwa (WHO 2009). Penyakit lain yang sering menyerang ayam dan menimbulkan kerugian besar adalah penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti tetelo (newcastle disease/ ND) (Orsi et al. 2010), cacar (avian pox) (Islam et al. 2008), gumboro (infectious bursal disease) (Mazengia et al. 2009), dan infectious bronchitis (Jones 1997), marek (Lobago dan Woldemeskel 2004), serta penyakit yang disebabkan oleh bakteri, yaitu coryza/snot (Mouahid et al. 1991), berak kapur/pulorum (Damayanti et al. 2009), kolera (Zhang et al. 2004), chronic respiratory disease/CRD, dan Colibacillosis (Rahman et al. 2004). Penyakit juga disebabkan oleh protozoa seperti koksidiosis (Marusich et al. 1972) atau parasit seperti cacingan (Damayanti et al. 2009).
UPAYA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM LOKAL
Untuk meningkatkan produktivitas ayam lokal diperlukan upaya perbaikan mutu genetik, pakan, budi daya, dan pengendalian penyakit. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil-hasil penelitian ayam lokal yang telah dilakukan di Indonesia. Perbaikan Mutu Genetik Untuk memperbaiki mutu genetik ayam lokal, kelompok peternak dan Dinas Peternakan Kabupaten Cianjur, misalnya, melakukan kerja sama pembibitan, perkandangan, perbaikan pakan, pengendalian penyakit, biosekuriti, dan pelestarian sumber daya genetik ayam pelung (Nataamijaya 1985). Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah kepunahan ayam dan cacat fisik akibat inbreeding. Selain itu, melalui program grading up menggunakan ayam pelung jantan sampai generasi ketiga, ayam kampung di Sukabumi, Jawa Barat, menghasilkan keturunan yang pertumbuhan badannya meningkat 40− 60% lebih cepat dibanding ayam kampung sehingga meningkatkan pendapatan peternak minimal 50% (Nataamijaya et al. 1993b).
Ayam lokal Indonesia mempunyai karakteristik morfologis dan produksi yang berbeda. Populasi ayam kampung lebih tinggi dibandingkan dengan ayam lokal spesifik lokasi, namun laju pertumbuhan badannya lambat. Untuk itu, dilakukan persilangan ayam pelung jantan dengan ayam kampung betina di daerah transmigrasi Batumarta Sumatera Selatan. Kegiatan ini menghasilkan keturunan yang pada umur 20 minggu pertumbuhan badannya 20% lebih cepat dibanding ayam lokal. Sebagai tetua dan sumber daya genetik, ayam pelung asli tetap dipertahankan serta dikembangbiakkan dan telah menjadi situs pelestarian sumber daya genetik dan pembibitan pertama di Sumatera (Nataamijaya dan Diwyanto 1994).
Salah satu kelebihan ayam pelung adalah suaranya merdu dan khas. Suara ayam pelung dapat dibagi ke dalam beberapa kategori sebagai dasar dalam penilaian kualitas suara, yaitu kukudur, kukulir, dan tetelur (Jarmani dan Nataamijaya 1996). Menurut Gunawan et al. (1998), generasi pertama (F1) persilangan ayam pelung jantan dengan ayam kampung betina menghasilkan pertambahan bobot badan 85,90 g/ekor (9%) pada umur 12 minggu, dengan koefisien variasi yang lebih baik (5,95% vs. 8,61%). Sartika et al. (2002) yang menyeleksi sifat mengeram ayam kampung berhasil meningkatkan produksi telur dari 29,53% menjadi 48,89% pada generasi ketiga selama 6 bulan masa produksi. Nataamijaya (2000) telah mendokumentasikan 32 rumpun ayam lokal Indonesia (Tabel 1). Sulandari et al. (2007) juga telah melakukan karakterisasi molekuler terhadap ayam lokal Indonesia. Seleksi terhadap sifat mengeram menunjukkan bahwa ayam kampung memberikan respons 5,20% selama 6 bulan masa seleksi pada generasi pertama.
Dengan metode marker assisted selection (MAS), respons seleksi mencapai 50% pada generasi ketiga (Sartika et al. 2004), sesuai dengan pendapat Meuwissen (2003) dan Solberg et al. (2008). Karakterisasi terhadap warna bulu memperlihatkan bahwa tingkat keseragaman warna bulu ayam pelung dan ayam sentul cukup tinggi, mencapai 75%. Hal ini merupakan modal awal yang baik dalam upaya pembentukan bangsa ayam lokal unggul (Nataamijaya 2005). Kualitas semen ayam lokal tergolong baik dengan konsentrasi spermatozoa 1,80 miliar/ml, motilitas 3,39 dari skala 4, jumlah spermatozoa hidup 75,40%, dan pH 7,80 (Nataamijaya et al. 2005). Data ini menunjukkan bahwa ayam lokal tidak memiliki hambatan dalam hal kesuburan, walaupun tidak sebaik ayam ras yang spermatozoa hidupnya mencapai 87% (Partyka et al. 2007).
Di masa mendatang, perlu diupayakan program pemuliaan dengan memanfaatkan teknologi MAS untuk menghasilkan ayam lokal yang berproduktivitas tinggi dan tahan terhadap penyakit menular yang mematikan, seperti AI dan ND. Upaya memperbaiki sifat genetik ayam kampung melalui persilangan dengan ayam ras juga telah dilakukan di Sulawesi Selatan, dan menghasilkan keturunan yang disebut Kalosi Pute. Ayam ini mulai bertelur pada umur 5,50 bulan dan mampu menghasilkan telur 180 butir/tahun (Anonim 1996).
KESIMPULAN DAN SARAN
Usaha peternakan ayam lokal perlu dikembangkan dengan menerapkan teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan peternak. Berbagai rumpun ayam lokal telah diidentifikasi dan teknologi budi daya untuk meningkatkan produksinya telah tersedia. Ayam lokal memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap penyakit, terutama AI, dibanding ayam ras pada umumnya karena memiliki frekuensi gen antivirus Mx+ yang lebih banyak. Pemberian obat alami dapat mencegah penyakit akibat infeksi virus, parasit, protozoa, dan bakteri. Program pemuliaan untuk membentuk galur ayam lokal yang tahan terhadap penyakit, terutama AI dan ND, perlu segera direalisasikan. Potensi sumber daya genetik untuk meningkatkan produksi ayam lokal sangat besar dan prospeknya sangat baik. Sebagian besar (63%) ayam lokal tahan terhadap virus AI sehingga tindakan pemusnahan sebaiknya dilakukan hanya terhadap ayam yang positif tertular berdasarkan hasil pengujian. Dibutuhkan strategi, kebijakan, dan program aksi yang sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah, serta penanganan penyakit menular yang terintegrasi. Diseminasi teknologi produksi ayam lokal perlu dilakukan secara cepat dan tepat sasaran. Pemerintah berperan penting dalam penyediaan modal usaha ternak ayam lokal untuk meningkatkan skala usaha. Diperlukan stratifikasi wilayah pengembangan ayam lokal di perdesaan.
Jurnal : http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3294102.pdf